Humas BKKBN Jatim Ingatkan Etika AI dalam Komunikasi Keluarga
SURABAYA (Beritakeadilan.com, Jawa Timur) – Di tengah arus disrupsi digital yang kian masif, pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam komunikasi publik menjadi sebuah keniscayaan. Teknologi ini telah digunakan untuk merancang narasi kebijakan, merespons keluhan masyarakat, hingga menyusun strategi kampanye perubahan perilaku. Namun, di balik efisiensi tersebut, muncul pertanyaan mendasar: ketika algoritma menggantikan peran manusia dalam menyampaikan pesan, khususnya yang menyentuh ranah keluarga dan nilai, apakah suara yang terdengar masih memiliki nurani.
Pranata Humas Ahli Pertama Perwakilan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN Provinsi Jawa Timur, Aulia Dikmah Kiswahono, menegaskan bahwa tantangan utama era ini bukan sekadar bagaimana memanfaatkan AI, melainkan bagaimana memastikan komunikasi publik tetap berjiwa manusia.
“Karena dalam konteks keluarga di mana cinta, kepercayaan, dan empati menjadi landasan utama, suara tanpa nurani bukanlah solusi. AI mungkin bisa bicara, tapi hanya manusia yang bisa benar-benar menyentuh hati,” ujar Aulia saat peluncuran dan bedah buku Antologi Transformasi Kehumasan di Era AI dan Literasi Kesehatan Kehumasan di Hotel Manhattan Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Secara global, isu ini juga menjadi perhatian serius. UNESCO dalam Global Forum on the Ethics of Artificial Intelligence 2024 di Slovenia menekankan pentingnya pendekatan etis, transparan, dan berpusat pada manusia dalam pemanfaatan AI, terutama di sektor publik.
Melalui inisiatif bersama negara-negara G7, UNESCO turut menggarisbawahi perlunya tata kelola AI yang memperhatikan hak asasi manusia, perlindungan privasi, serta keberagaman budaya agar teknologi tidak tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaan.
Menurut Aulia, dalam konteks keluarga Indonesia, komunikasi bukan hanya proses transfer informasi, melainkan juga ruang bertemunya nilai tradisional, emosi, dan kepercayaan yang diwariskan lintas generasi.
“Sehingga ketika pesan tentang parenting, kesehatan reproduksi, atau 1000 Hari Pertama Kehidupan disampaikan melalui sistem otomatis tanpa intervensi manusia, risikonya bukan hanya kehilangan makna, tetapi juga degradasi nilai-nilai kemanusiaan,” tandasnya.
Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran Profesor Shoshana Zuboff dari Harvard University dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism (2019) yang mengingatkan bahwa teknologi yang lepas dari kendali manusia berpotensi mengubah cara manusia berinteraksi secara fundamental. Ketika pengalaman manusia direduksi menjadi data perilaku, teknologi tak lagi sekadar membantu, tetapi membentuk perilaku itu sendiri.
Di Indonesia, berdasarkan Reportal 2024, terdapat sekitar 139 juta pengguna aktif media sosial atau setara 49,9 persen dari total populasi. Pada kelompok remaja, data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2023 menunjukkan 93,52 persen remaja aktif menggunakan media sosial, dengan WhatsApp sebagai platform dominan yang juga kerap menjadi sarana komunikasi keluarga.
Kondisi ini membuka peluang besar pemanfaatan chatbot dan AI dalam komunikasi publik yang menyasar keluarga. Namun, di saat yang sama, muncul keraguan mendasar apakah mesin mampu memahami konteks emosional dan nilai budaya dalam keluarga Indonesia yang begitu kompleks.
Dalam program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana atau Bangga Kencana yang diusung Kemendukbangga/BKKBN, penerapan konsep human in the loop menjadi krusial. Pengawasan dan intervensi manusia dalam setiap tahapan kerja AI dinilai mutlak diperlukan.
“Pesan-pesan seputar keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, maupun pendidikan seksual tidak bisa hanya disampaikan melalui pendekatan teknis. Diperlukan pemahaman konteks budaya, nilai lokal, serta sensitivitas emosional yang hanya bisa dipahami manusia,” tegas Aulia.
Ia mencontohkan kampanye digital tentang ASI eksklusif. AI mungkin mampu merangkai pesan yang akurat secara medis, namun tanpa memahami tekanan sosial yang dihadapi ibu muda, tantangan ekonomi keluarga, atau stigma terhadap ibu bekerja, pesan tersebut berisiko tidak relevan bahkan melukai perasaan audiens.
Buku Antologi Transformasi Kehumasan di Era AI dan Literasi Kesehatan Kehumasan memuat 46 karya terpilih dari ratusan tulisan anggota Ikatan Pranata Humas Indonesia (Iprahumas). Salah satunya adalah tulisan Aulia berjudul “Suara Tanpa Nurani: Menjaga Etika dan Cinta dalam Komunikasi Publik Berbasis AI di Ranah Keluarga”.
Ketua Umum Iprahumas Indonesia, Fachrudin Ali, menegaskan bahwa tantangan terbesar humas ke depan bukan hanya kemampuan mengadopsi teknologi, tetapi juga peran strategis sebagai penjaga makna di tengah kebisingan data dan informasi artifisial.
“Humas mempunyai peran penting dalam meminimalisir distorsi dengan menjaga dan merawat narasi di ruang-ruang publik,” ujarnya.(**)