Ahli Pidana Unair: “Pemenuhan harus penuh, asal tanpa motif tersembunyi.”

Cabut Perkara KDRT, Bayar Kompensasi Rp 2 M, Korban Ingin Istri Pulang: “Kalau Pulang, Nyawa Saya Siapa yang Jamin ?"

oleh : -
Cabut Perkara KDRT, Bayar Kompensasi Rp 2 M, Korban Ingin Istri Pulang: “Kalau Pulang, Nyawa Saya Siapa yang Jamin ?"
Terdakwa Vinna Natalia Wimpie Widjojo (kiri), saksi Sena Sanjaya Tanata Kusuma (kanan)

SURABAYA (Beritakeadilan.com, Jawa Timur)-Sidang perkara dugaan kekerasan psikis dalam rumah tangga (KDRT) dengan terdakwa Vinna Natalia Wimpie Widjojo terhadap suaminya Sena Sanjaya Tanata Kusuma, kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (5/11/2025). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim S. Pujiono di ruang Kartika.

Kasus ini mencuat setelah terungkap adanya kompensasi senilai Rp 2 miliar yang telah dibayarkan korban kepada istrinya demi pencabutan laporan dan perdamaian, namun sang istri tetap menolak kembali ke rumah.

Patut diketahui, bahwa dalam perkara ini terdakwa Vinna Natalia Wimpie Widjojo pernah melakukan upaya hukum pra pradilan dengan nomor perkara 15/Pid.Pra/2025/PN Sby. Dimana pihak Termohon Polrestabes Surabaya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Siska Christina dari Kejari Surabaya menghadirkan Ahli Hukum Pidana Universitas Airlangga, Tutik, yang menjelaskan batasan hukum antara wanprestasi, penipuan, dan konsep Restorative Justice (RJ).

“Hukum pidana menilai dari niat dan motif. Apakah sejak awal ada niat menipu, atau memang sudah jadi kesepakatan antara dua pihak,” jelas Tutik di hadapan majelis hakim.

“Restorative Justice bertujuan memulihkan keadaan seperti semula. Umumnya diterapkan untuk perkara anak atau kasus ringan yang bisa diselesaikan di luar pengadilan,” tambahnya. Ketika ditanya oleh penasihat hukum terdakwa soal kompensasi dan rehabilitasi dalam kasus KDRT, Ahli menjawab:

“Sepanjang tidak ada motif tersembunyi, ya bisa saja selesai. Kalau saling menguntungkan, karena rumah tangga itu seharusnya tentang keseimbangan hak dan kewajiban.”

Namun, ia menegaskan pemenuhan kompensasi harus seluruhnya terpenuhi agar kesepakatan damai dapat dinilai sah.

Dalam sidang sebelumnya, korban Sena Sanjaya mengaku telah menuruti seluruh syarat perdamaian yang tertuang dalam akta notaris, termasuk menyerahkan uang Rp 2 miliar dan nafkah bulanan Rp 75 juta.

“Saya sudah penuhi semua kesepakatan, tapi dia tetap menolak pulang ke rumah,” ujar Sena di persidangan. Sebaliknya, terdakwa Vinna membantah keterangan tersebut. Ia menyebut janji rumah kontrakan yang dijanjikan tidak pernah terealisasi, bahkan ia mengaku dilarang menemui anak-anak oleh ajudan mantan suaminya.

Ketua Majelis Hakim sempat menawarkan perdamaian agar Vinna mau kembali ke rumah. Namun sang terdakwa menolak dengan alasan keselamatan.

“Mohon maaf, Yang Mulia. Siapa yang bisa menjamin keselamatan nyawa saya kalau saya kembali? Saya masih trauma atas kekerasan yang pernah saya alami,” ujar Vinna lirih.

Pasangan yang menikah sejak 12 Februari 2012 itu dikaruniai tiga anak. Hubungan mereka kerap diwarnai pertengkaran. Puncaknya terjadi pada Desember 2023, ketika Vinna memilih pergi dari rumah dan melaporkan Sena atas dugaan KDRT, serta menggugat cerai.

Sena yang berusaha mempertahankan rumah tangga rela menawarkan kompensasi Rp 2 miliar, rumah Rp 5 miliar, dan nafkah bulanan Rp 75 juta dengan syarat laporan dicabut. Namun setelah kompensasi diberikan, Vinna tetap menggugat cerai kembali pada 31 Oktober 2024.

Dari hasil pemeriksaan Psikiatri RS Bhayangkara Surabaya tertanggal 22 Februari 2025, Sena mengalami gangguan cemas dan depresi akibat tekanan batin rumah tangganya.

Atas kasus tersebut, Jaksa menjerat Vinna dengan Pasal 5 huruf b jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

Sidang akan dilanjutkan dengan agenda pembuktian tambahan dan tuntutan dari JPU pada pekan depan. (****)

banner 400x130
banner 728x90