Penolakan pasien gawat darurat dinilai sebagai pelanggaran hukum berat
Rekan Indonesia Bekasi Kecam Rumah Sakit yang Tolak Pasien Gawat Darurat: Langgar Hukum dan Kemanusiaan
KOTA BEKASI (Beritakeadilan.com, Jawa Barat)-Relawan Kesehatan (Rekan) Indonesia Kota Bekasi mengecam keras tindakan sejumlah rumah sakit yang masih menolak pasien gawat darurat dengan alasan administrasi, status kepesertaan BPJS nonaktif, atau ketidakmampuan membayar. Praktik seperti ini bukan hanya mencederai nilai kemanusiaan, tetapi juga melanggar hukum secara tegas sebagaimana diatur dalam regulasi kesehatan nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 32 ayat (1) menegaskan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan pelayanan kepada pasien dalam keadaan darurat dan dilarang menolak pasien serta meminta uang muka. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dipidana sebagaimana Pasal 190 ayat (1) dengan ancaman penjara hingga dua tahun dan denda maksimal Rp200 juta.
Hal serupa ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 29 huruf (f) dan Pasal 55 ayat (1), yang mengatur kewajiban rumah sakit untuk memberikan pelayanan gawat darurat tanpa uang muka dan tanpa diskriminasi. Bahkan Permenkes Nomor 47 Tahun 2018 menegaskan bahwa rumah sakit tidak boleh menolak pasien gawat darurat dengan alasan apapun, termasuk bila pasien tidak memiliki identitas, jaminan, atau biaya.
“Tidak ada alasan bagi IGD atau UGD untuk menolak pasien dalam kondisi gawat darurat. Penolakan pasien berarti mengabaikan nyawa manusia dan melanggar konstitusi kemanusiaan. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga pidana,” tegas Sabam Posma, Ketua Kolektif Pimpinan Daerah Rekan Indonesia Bekasi.
Rekan Indonesia menilai, pemerintah daerah maupun pusat tidak boleh abai terhadap kasus penolakan pasien gawat darurat yang masih terjadi. Setiap laporan masyarakat harus direspons serius oleh Dinas Kesehatan, Ombudsman RI, dan aparat penegak hukum. Bila dibiarkan, tindakan seperti ini dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan dan meruntuhkan prinsip universal pelayanan publik.
“Kami mendesak Kementerian Kesehatan menegakkan sanksi nyata terhadap rumah sakit yang melanggar hukum kemanusiaan ini. Jangan tunggu ada korban meninggal baru bertindak. Nyawa rakyat tidak boleh ditukar dengan alasan administratif,” lanjut Sabam.
Selain itu, Rekan Indonesia Jawa Timur juga mengingatkan tenaga kesehatan dan pimpinan rumah sakit agar tidak tunduk pada birokrasi atau kepentingan keuangan ketika menghadapi kondisi darurat medis. Prinsip utama profesi kesehatan adalah menyelamatkan nyawa, bukan menghitung biaya.
“Kami akan terus mengawal kasus-kasus penolakan pasien, mendampingi keluarga korban, dan mendorong penegakan hukum agar tragedi seperti ini tidak terus berulang,” tutup Sabam.
(Faresi)