GMNI Jakarta Selatan Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Desak Evaluasi Komitmen Negara Terhadap Pancasila

oleh : -
GMNI Jakarta Selatan Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Desak Evaluasi Komitmen Negara Terhadap Pancasila

JAKARTA, Beritakeadilan.com – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Jakarta Selatan menyatakan penolakan tegas terhadap rencana pemerintah menganugerahkan gelar *Pahlawan Nasional* kepada mantan Presiden Soeharto. Penolakan ini ditegaskan dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia, MPR, DPR, dan Kementerian Sosial RI. Jumat, (6/6/2025).

Ketua GMNI Jakarta Selatan, Dendy Se., menilai bahwa pemberian gelar tersebut merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila, terutama sila ke-2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), sila ke-3 (Persatuan Indonesia), dan sila ke-5 (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia).

“Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto adalah upaya membalsem kebohongan sejarah menjadi kebanggaan nasional. Ini bukan hanya penghinaan terhadap korban pelanggaran HAM, tapi juga bentuk pelecehan terhadap cita-cita kemerdekaan,” tegas Dendy.

GMNI Jakarta Selatan mengingatkan bahwa selama 32 tahun kekuasaan Soeharto, rakyat Indonesia mengalami berbagai bentuk represi, pelanggaran HAM, serta pemiskinan sistematis akibat praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang dilembagakan. Di antaranya adalah peristiwa 1965–1966, penculikan aktivis 1998, pelarangan kebebasan berserikat, dan penghapusan sejarah kritis dari ruang pendidikan.

“Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti mengabsahkan otoritarianisme dan menormalisasi kekuasaan yang membungkam keadilan,” tambah Dendy.

Dalam siaran pers ini, GMNI Jakarta Selatan menyampaikan empat tuntutan kepada negara:

1. Batalkan rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

2. Adili Presiden Joko Widodo dan makzulkan Gibran Rakabuming Raka atas dugaan keterlibatan dalam praktik KKN dan pengkhianatan terhadap Pancasila serta konstitusi.

3. Rehabilitasi korban pelanggaran HAM Orde Baru sebagai bentuk penebusan sejarah dan keadilan transisional.

4. Perkuat kurikulum pendidikan sejarah kritis yang mengembalikan Pancasila sebagai etika politik progresif, bukan alat represi.

GMNI juga memperingatkan bahwa bila tuntutan ini diabaikan, maka pemerintahan saat ini akan dicatat dalam sejarah sebagai bagian dari pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan amanat konstitusi.

“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang melupakan, apalagi mengkhianati sejarahnya. Hari ini kita tidak hanya memperjuangkan keadilan untuk masa lalu, tapi masa depan Indonesia yang merdeka dan berdaulat,” pungkas Dendy.(**)

banner 400x130
banner 728x90