Saatnya Ubah Haluan, Pendekatan Kesehatan Harus Jadi Pusat Revisi UU Narkotika

SURABAYA (Beritakeadilan.com, Jawa Timur) – Di tengah momentum Hari Narkotika Internasional yang diperingati setiap 26 Juni, wacana reformasi kebijakan narkotika kembali menguat. Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) menyoroti urgensi revisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dinilai sudah saatnya mengedepankan pendekatan berbasis kesehatan ketimbang kriminalisasi.
Selama dua dekade terakhir, Indonesia terus mengandalkan pendekatan represif melalui narasi perang terhadap narkotika. Namun bukannya menyelesaikan persoalan, kebijakan ini justru memperparah kondisi sistem pemasyarakatan nasional.
Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) menunjukkan bahwa per Juni 2025, penghuni rutan dan lapas mencapai 268.718 orang, padahal kapasitas hanya untuk 138.128 orang. Ini berarti tingkat kelebihan kapasitas (overcrowding) telah menyentuh 94,56%. Ironisnya, hampir 52% dari jumlah itu adalah tahanan kasus narkotika, mayoritas merupakan pengguna, bukan pengedar.
"Paradigma penghukuman justru memperburuk kondisi pengguna narkotika. Mereka kehilangan akses terhadap pemulihan yang layak dan malah mengalami stigma berkelanjutan," tegas perwakilan JRKN dalam pernyataan resmi tertulis, Rabu (26/6/2025).
Dalam dokumen sikap yang dirilis hari ini, JRKN mendesak Pemerintah dan DPR RI agar menjadikan revisi UU Narkotika sebagai momen transformatif untuk meninggalkan kebijakan gagal masa lalu. Beberapa poin kunci yang disoroti antara lain:
1. Paradigma Kesehatan Gantikan Kriminalisasi
Pengguna narkotika harus dilihat sebagai individu yang membutuhkan bantuan medis, bukan pelaku kriminal. Revisi UU harus memprioritaskan layanan kesehatan berbasis bukti ilmiah, bukan sekadar memenjarakan.
2. Perlu Adanya Dekriminalisasi Pengguna
Dekriminalisasi bukan legalisasi. Tujuannya adalah menghentikan pemidanaan bagi pengguna untuk kepentingan pribadi dan mengarahkan mereka ke layanan rehabilitasi berbasis komunitas. Portugal, Swiss, hingga Malaysia telah membuktikan efektivitas pendekatan ini.
3. Akomodasi Narkotika untuk Kepentingan Medis dan Riset
UU baru harus membuka jalan bagi penggunaan narkotika untuk pengobatan dan riset kesehatan. Ini bukan pelonggaran sembarangan, melainkan langkah strategis untuk membangun sistem kesehatan yang adil dan berbasis ilmiah.
4. Perbaikan Hukum Acara dan Perlindungan HAM
Kasus penjebakan dan penyalahgunaan kewenangan kerap terjadi akibat lemahnya pengawasan terhadap praktik pembelian terselubung (undercover buying), control delivery, dan tes urine. UU yang baru harus memastikan batasan hukum acara yang tegas.
5. Alternatif Rehabilitasi Non-Punitif
Rehabilitasi tak boleh menjadi alat baru untuk eksploitasi. Pendekatan pengurangan dampak buruk (harm reduction) harus dikedepankan untuk membantu pengguna hidup lebih sehat dan produktif.
6. Pelibatan Masyarakat Sipil dan Akademisi
Revisi UU harus dibuka untuk partisipasi bermakna dari masyarakat sipil dan kalangan akademik. Kebijakan publik yang kuat lahir dari dialog dan berbasis data, bukan hanya kepentingan politik semata.
7. Implementasi Putusan MK tentang Ganja Medis
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 106/PUU-XVIII/2020 memerintahkan riset ganja medis. Pemerintah diminta menjadikan Aceh sebagai lokasi percontohan (pilot project), sejalan dengan inisiatif DPR Aceh yang telah mengusulkan legalisasi ganja medis dalam Prolegda Tambahan 2024.
JRKN menegaskan bahwa kesempatan merevisi UU Narkotika tak boleh diisi dengan solusi tambal sulam. Pemerintah dan DPR RI dituntut menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk menciptakan perubahan struktural yang membawa keadilan, kesehatan, dan pemulihan sebagai fokus utama.
"Kita sudah terlalu lama berkutat dengan kegagalan. Saatnya berpaling pada kebijakan yang manusiawi dan ilmiah," tegas JRKN. (R1F)