Sidang Korupsi RPHU Lamongan, Saksi Ungkap Dugaan Fee dan Permainan Internal Dinas

KABUPATEN SIDOARJO (Beritakeadilan.com, Jawa Timur)-Perkara dugaan korupsi proyek Pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) Kabupaten Lamongan kembali disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Kamis (26/6/2025). Agenda persidangan bernomor perkara 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby kali ini menghadirkan tiga saksi kunci, salah satunya bernama Rio Dedik, yang diduga menjadi penghubung dalam aliran dana mencurigakan di tubuh Dinas Peternakan Lamongan.
Dalam persidangan yang digelar di ruang Cakra dan dipimpin oleh Majelis Hakim Ni Putu Sri Indayani, SH, saksi Rio secara terbuka mengakui bahwa dirinya pernah menyerahkan uang pasca pengerjaan proyek.
“Saya diminta Bu Eka untuk mengurus pekerjaan proyek RPHU dan selesai pekerjaan saya pernah serahkan uang Rp3,5 juta di ruangannya,” ungkap Rio di hadapan hakim.
Rio juga menambahkan, dirinya kemudian memberikan uang sebesar Rp9 juta kepada Pak Wahyudi, yang disebutnya sebagai bentuk "ucapan terima kasih" kepada jajaran dinas.
“Setelah saya kasih uang kepada semua staff, saya berlanjut memberikan uang Rp 9 juta kepada Pak Wahyudi,” lanjutnya.
Namun saat didesak Jaksa Penuntut Umum (JPU), Rio tidak dapat memastikan apakah uang tersebut diterima langsung oleh Drs. Moch. Wahyudi, yang saat itu menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Menanggapi kesaksian Rio, Wahyudi dengan tegas membantah keterlibatannya.
“Saya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari Rio. Bentuk uangnya saja saya tidak tahu,” ujar Wahyudi di muka sidang.
Kuasa hukum terdakwa, Muhammad Ridlwan, SH, yang didampingi Ainur Rofik, S.HI, menilai bahwa kliennya hanya dikorbankan dalam kasus ini. Ia menekankan bahwa dana tersebut bukan ditujukan untuk Wahyudi secara pribadi, melainkan untuk pegawai dinas yang membantu pelaksanaan proyek.
“Uang itu bukan untuk Pak Wahyudi secara pribadi. Itu diserahkan setelah seluruh pekerjaan selesai dan katanya untuk pegawai dinas yang membantu saksi,” jelas Ridlwan.
Ridlwan juga menggarisbawahi bahwa kerugian negara sebesar Rp 92 juta sebagaimana disebut dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berasal dari selisih volume pekerjaan, yang merupakan ranah teknis bukan administratif.
“Seharusnya kontraktor dan tim teknis lebih dulu diproses,” tegasnya.
Pihak kuasa hukum turut mempersoalkan penolakan penyidik terhadap permintaan dilakukan uji poligraf dan psikologi forensik, yang menurut mereka bisa mengungkap siapa yang tidak jujur dalam proyek tersebut.
“PPK hanya pengendali umum. Pengurusan detail lapangan ada pada PPTK dan tim teknis. Kalau ada bendera pinjaman, PPK jelas tidak mengetahuinya,” ujar Ridlwan menyikapi dugaan praktik “pinjam bendera” dalam pelaksanaan proyek.
Majelis Hakim memutuskan untuk menunda persidangan dan akan melanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan pada Kamis, 3 Juli 2025 mendatang.
Menutup pernyataannya, Ridlwan menegaskan bahwa pihaknya menginginkan proses hukum ini berjalan adil tanpa tebang pilih.
“Jangan sampai perkara ini seperti pepatah ‘orang buang air, orang lain disuruh menyeka’. Kami ingin semua terang-benderang agar keadilan benar-benar ditegakkan,” pungkasnya.(R1F)