Perkara Pemukulan di Kantor Media Memorandum, Terdakwa Herry Sunaryo Akui Pukul dan Ludahi Jatmiko

SURABAYA (Beritakeadilan.com, Jawa Timur) – Satu tahun pasca-insiden kekerasan yang mengejutkan di kantor salah satu media online di Surabaya, proses hukum masih terus berjalan. Dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (tanggal menyesuaikan), saksi korban bernama Jatmiko memberikan kesaksian langsung terkait penganiayaan yang dialaminya.
Peristiwa ini terjadi saat karyawan tengah membahas persiapan perayaan ulang tahun kantor Memorandum Online. Di tengah diskusi internal tersebut, suasana mendadak berubah menjadi panas ketika terdakwa Herry Sunaryo yang saat itu menjabat sebagai Manajer Pemasaran tersulut emosi.
“Saat itu saya usulkan nama Pak Herry sebagai ketua panitia, setelah Muklis Darmawan menolak,” ungkap Jatmiko di hadapan majelis hakim.
Tanpa diduga, usulan tersebut justru memicu kemarahan Herry. “Beliau langsung naik pitam, meludahi saya, lalu memukul hingga bibir saya berdarah,” lanjut Jatmiko, dengan suara berat menahan emosi.
Ia menjelaskan bahwa pukulan itu dilakukan dengan tangan yang masih mengenakan cincin, membuat bibirnya membengkak dan sulit digerakkan. “Saya sempat tersandar ke tembok. Mau berdiri tapi ditahan satpam Memorandum,” kata dia.
Setelah situasi sempat tenang, kejadian tidak berhenti di sana. Ketika Jatmiko naik ke lantai dua kantor, Herry kembali mendatanginya dalam kondisi masih marah.
“Dengan nada tinggi beliau berkata: ‘Cangkem ojo celometan, aku wis tua!’,” ujar Jatmiko, mengutip kalimat yang masih terngiang jelas di telinganya.
Meski sempat ada upaya mediasi di kantor polisi, Herry bahkan sempat menyatakan, “Kalau mau lapor polisi, ya lapor saja.” Pernyataan tersebut disampaikan sebelum akhirnya Herry datang ke rumah Jatmiko untuk meminta maaf.
“Tapi kenapa harus memukul saya?” ucap Jatmiko lirih, yang menggambarkan luka batin yang belum benar-benar sembuh.
Jaksa Penuntut Umum, Ahmad Muzaki, dalam sidang menegaskan bahwa terdakwa melakukan tindak kekerasan secara langsung.
“Bibir korban berdarah dan tidak diberikan perawatan apa pun saat itu. Korban dibiarkan begitu saja,” ujarnya di ruang persidangan.
Jatmiko pun kemudian menjalani visum di fasilitas kesehatan setelah menerima arahan dari dokter.
Dalam kesaksiannya, Jatmiko juga mempertanyakan keberadaan cincin batu akik yang dikenakan oleh terdakwa saat pemukulan. “Kenapa sampai sekarang belum dijadikan barang bukti?” tanyanya kepada hakim.
Dalam kesempatan yang sama, terdakwa Herry Sunaryo tidak membantah keterangan korban. Ia mengakui bahwa dirinya memang sempat meludahi dan memukul Jatmiko saat insiden terjadi.
Meski pengakuan itu disampaikan di hadapan majelis hakim, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah kekerasan bisa dibenarkan dalam situasi emosi sekalipun?
Kasus ini kini memasuki tahap penting dalam proses pembuktian di pengadilan. Masyarakat menanti keadilan ditegakkan, sementara korban berharap luka batin yang tertinggal bisa menemukan titik terang dari proses hukum ini. (R1F)